Maafkan Aku, Ibu
Sering banget aku jadi anak yang 'nyebelin' karena terus-terusan merengek minta ibu mengabulkan permintaanku menemui kakek. almarhum kakek, maksudku.
Ibu selalu bilang, nggak punya uang.
dan aku akan selalu bilang, kalau aku sangat sangat sangat ingin berkunjung.
nyebelin, ya?
itu belum seberapa.
aku menyadari betapa menyebalkannya diri ini ketika sadar apa yang sudah aku lakukan.
dan itu menyakiti ibu.
Nenekku menikah dengan seseorang pada zamannya.
kakekku.
nenek sudah punya seorang putri (bude ku)
semuanya berjalan baik, sampai tibalah masa menyedihkan itu.
kakek adalah seorang tentara.
dan beliau tertembak.
ibu masih dikandungan.
sebelum meninggal, kakek berpesan kepada nenek tentang nama anak beliau jika lahir nanti.
seperti sudah menerka bahwa takdirnya takkan membawa beliau melihat putrinya lahir di dunia :')
nenekku tidak dilahirkan dari seorang yang berada.
tinggalah nenek, buyut, bude, dan ibuku yang masih balita.
ibu tumbuh menjadi seorang anak yang baik, yang haus akan ilmu.
namun, apa yang bisa keluarga ibu lakukan?
dengan pendapatan harian dari menjadi pekerja ngglepung (bahasa jawa dari kegiatan memilah padi yang telah di panen sebelum dijual ke pasar) hasil bumi sawah tetangga, nenek dan buyut hanya mampu membiayai keperluan sehari-hari ibu dan bude, dengan sangat terbatas.
tapi ibu sangat ingin sekolah.
ibu bilang, ibu punya cita-cita.
dan ibu memohon.
kepada Allah, kepada nenek, kepada buyut.
ibu terus memohon.
akhirnya, nenek mengambil keputusan.
dilakukannya apapun yang dapat membantunya mewujudkan cita-cita putri kecilnya.
Ngglepung, menjual asinan, menjual gorengan, menjual surabi, menjual rumbah (pecel), sampai berjualan di pasar, apapun yang bisa beliau usahakan.
nenek hebat :')
beliau tidak mengeluh.
dan ibu, ibu turut membantu.
setiap hari, beliau menjajakan dagangan nenek. tak jarang, beliau juga menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah.
demi sekolaaaaah :")
oke. kisah inilah yang ibu ceritakan padaku ketika pertama kali aku bertanya tentang kakek.
ibu bilang, kakek asli garut, keluarga beliau seluruhnya tinggal disana. kakek juga dimakamkan disana.
ketika menanyakan alamat kakek, ibu menggeleng lemah.
ibu tidak tahu. jangankan alamat, wajah kakek seperti apa saja, ibu tak tahu.
Sekarang aku tahu, bahwa setiap kali aku mengungkit soal kakek, luka lama itu akan tergores kembali di hati ibu.
bisa bayangkan, bagaimana rasanya jika kita tidak pernah tahu seperti apa ayah kita? bahkan tidak pernah tahu dimanakah kita harus menaburkan bunga dan berta'ziah untuk mendoakannya yang sudah tiada???
maafkan aku ya, bu. selama ini tidak peka, dan egois selalu bertanya.
tapi bu, sejujurnya aku masih ingin.
masih ingin mencari dibelahan bumi mana aku dapat menyentuh butiran-butiran urugan tanah yang menutupi papan-papan pembungkus tubuh kakek, almarhum.
aku masih ingin mencari, kemana aku harus menemui saudara-saudaraku yang lain, saudara dari saudara kakek.
Aku sudah bertekad.
sekali lagi, maafkan aku, Ibu.
Komentar
Posting Komentar